Latte Factor
Last Update:

2024-05-03 11:32:58

Kesulitan mengatur prioritas pengeluaran dan banyaknya “bocor halus” dalam pengelolaan pengeluaran rutin. Dengan kata lain, masih banyak kalangan yang belum tahu cara mengelola keuangan yang tepat.

Dalam keuangan, hal ini dikenal dengan istilah “latte factor”. Ini adalah istilah yang pertama kali dikenalkan oleh seorang motivator finansial Amerika David Bach, merujuk pada kebiasaan orang di negeri paman sam itu yang nyaris selalu jajan kopi dalam perjalanan menuju kantor.

Mengapa Latte Factor Dapat Menimbulkan Kebiasaan Boros?

Latte factor mungkin sudah disadari jebakannya akan tetapi masih diremehkan karena dinilai tidak signifikan memakan anggaran. Tapi, bila diakumulasikan, angkanya ternyata cukup besar dan sebenarnya bisa dialihkan untuk hal lain yang lebih produktif seperti menabung, investasi dan perlindungan masa depan.

Ambil contoh pengeluaran beli kopi kekinian. Pengeluarannya mungkin memang tidak besar, anggaplah Rp20 ribu di Indonesia. Namun, karena dilakukan rutin setiap hari, lama-kelamaan nilainya ternyata cukup besar. Coba Anda kalikan Rp20 ribu selama hari kerja maka didapatkan angka Rp400 ribu, lumayan kan? Bila Rp400 ribu itu Anda alihkan sebagai dana investasi di instrumen berimbal hasil 6% per tahun, dalam setahun Anda bisa menabung sekitar Rp5 juta. 

Bukan hanya kopi, beberapa pengeluaran yang terindikasi sebagai “latte factor”, seperti air mineral dalam kemasan, rokok, biaya transfer antar bank, langganan streaming film, jajan kudapan ringan, dan lain sebagainya. 

Cara mengelola keuangan dan memperhatikan jebakan latte factor

  1. Mencatat setiap pengeluaran
  2. Mulai atur anggaran
  3. Siapkan alternatif substitusi
  4. Alihkan hasil penghematan

sumber : https://www.manulife.co.id/id/artikel/jebakan-latte-factor.html