Quiet Quitting: Ketika Beban Kerja Di Luar Akal Sehat
Last Update:

2024-05-03 09:08:40

QUIET QUITTING

Dalam Wall Street Journal, istilah quiet quitting diartikan sebagai tidak menganggap pekerjaan terlalu serius. Istilah berhenti quitting disini tidak berarti keluar dari perusahaan sepenuhnya, tetapi hanya ingin berhenti dari bekerja secara tak terbatas di kantor, sehingga dapat memiliki waktu untuk hal-hal pribadi di luar kantor.

Lebih jelasnya, orang yang menerapkan quiet quitting hanya akan bekerja sesuai perjanjian awal yang disepakati bersama. Yaitu sesuai dengan jam kerja dan job desk yang telah ditentukan.

TREN QUIET QUITTING

Tren quiet quitting mulai marak sejak pandemi Covid-19, saat banyak perusahaan memangkas karyawan demi efisiensi. Mereka kemudian melimpahkan pekerjaan dari mereka yang telah keluar kepada pegawai yang bertahan. Sehingga pegawai yang bertahan harus mengerjakan pekerjaan lebih banyak.

Banyak pegawai kelelahan hingga stres menghadapi target perusahaan dan jumlah pekerjaan yang berlebih ini. Sementara itu, apresiasi yang perusahaan berikan kepada karyawan tidak sebanding dengan pekerjaan yang dibebankan.

Pikiran untuk mengajukan resign sudah berkali-kali dipertimbangkan. Namun mencari kerja di era pandemi tidak mudah dan berisiko besar. Quiet quitting seolah menjadi solusi bagi kegelisahan para pegawai yang sedang berada pada dilema ini.

Maka demi tetap dapat bekerja dengan kesehatan mental yang terjaga, mereka mulai melakukan quiet quitting untuk mengurangi stres dan menghindari burn out.

Tren Quiet quitting ini bertolak belakang dengan Hustle Culture yang belakangan juga marak di kalangan generasi milenial dan generasi Z. Bila hustle culture mengajak untuk bekerja keras tanpa batas di saat muda untuk mencapai impian, hingga tak ada batasan antara kehidupan dan pekerjaan. Quiet quitting justru mengajak untuk menganut prinsip work-life balance.

“You can’t do a good job if your job is all you do.”

“Kamu tidak dapat melakukan pekerjaan dengan baik jika yang kamu lakukan hanyalah pekerjaanmu.” — Katie Thurmes

APAKAH QUIET QUITTING PILIHAN YANG BAIK?

Beberapa ahli menyebutkan bahwa Quiet Quitting dapat menjadi solusi untuk mengatasi burnout.

Aksi ini juga membuat pegawai lebih memiliki kendali atas hal-hal dalam dirinya sendiri, seperti untuk istirahat, berkembang, dan menciptakan ruang untuk refleksi. Aksi inj juga meningkatkan kesejahteraan pegawai dalam hidupnya. Karena pada dasarnya work life balance sangat penting untuk menjaga kewarasan mental dan menjaga kehidupan pribadi setiap orang.

Dengan memiliki batas antara pekerjaan dengan kehidupan pribadi, seseorang dapat memiliki waktu untuk hal penting lain dalam hidupnya. Seperti keluarga, rekreasi, hobi, berolah raga, bersosialisasi dan lainnya. Dan hal-hal positif ini dapat meningkatkan produktivitas.

BUKAN SEPENUHNYA SALAH PEGAWAI

Ketiga pegawai melakukan Quiet quitting, sesungguhnya bukanlah akibat kesalahan pegawai, tetapi bisa juga disebabkan karena pimpinan atau manajemen perusahaan yang buruk.

Tidak adanya apresiasi ketika melakukan pekerjaan dengan baik, tidak adanya kompensasi lembur, tidak adanya waktu istirahat yang cukup, kurangnya perhatian dan empati kepada pegawai ketika mereka mengalami masalah atau musibah, tidak adanya kesempatan untuk mengembangkan diri, target yang terlalu tinggi dan lainnya membuat pegawai merasa bahwa apa yang diberikannya kepada perusahaan tidak sesuai dengan apa yang didapatkannya.

Perasaan diremehkan, tidak dihargai, perkataan dan perlakuan yang buruk juga menjadi pemicu bagi pegawai untuk merasa kecewa dan kurang termotivasi.

Pada dasarnya, pegawai akan termotivasi jika pekerjaannya diapresiasi dengan baik. Baik berupa atensi untuk peningkatan jenjang karir, bonus, hadiah atau kenaikan gaji. Apalagi jika lingkungan kerja positif, saling mendukung serta memberi kesempatan untuk berkembang lebih baik.

“A bad manager can take a good staff, and destroy it, causing the best employees to flee, and the remainder to lose all motivation”

“Manajer yang buruk dapat memilih staf yang baik, dan menghancurkannya, menyebabkan karyawan terbaik melarikan diri, dan kehilangan semua motivasi”

DAMPAK BURUK QUIET QUITTING

Meskipun tampak positif, Quiet Quitting tetap memiliki sejumlah dampak buruk. Quiet quitting dapat seseorang kehilangan motivasi kerja. Pekerjaan yang monoton dan tidak ada tantangan dalam jangka panjang dapat membuat seseorang menjadi bosan.

Sifat pasif, kurangnya inisiatif untuk bekerja lebih tentunya juga akan mengganggu hubungan dengan pegawai lainnya dan juga pada pimpinan. Bayangkan rekan kerja yang lain harus bekerja keras hingga lembur, namun kamu bekerja dengan santai dan pulang tepat waktu.

Kamu bisa saja dianggap egois dan tidak mampu bekerja sama dalam tim. Rekan kerja lain akan menghindarimu, membicarakanmu di belakang dan bisa saja berusaha menjatuhkanmu. Lingkungan kerja akan menjadi semakin buruk dan toxic bagimu. Bukan hanya karena salah mereka namun juga karena kurangnya partisipasimu dalam pekerjaan.

Bagi perusahaan kamu juga bisa dianggap tidak menguntungkan perusahaan. Sehingga akan semakin sulit untuk kamu bersaing dengan pegawai lainnya. Sulit berkembang dan sulit mendapat kesempatan promosi.

Dan hal terburuk, bila perusahaan memerlukan efisiensi kembali, kamu dapat menjadi target yang dianggap pantas untuk diberhentikan. Perusahaan tidak memiliki alasan kuat untuk mempertahankanmu.

BAGAIMANA SOLUSINYA?

Hal terbaik yang menjadi solusi adalah tetap memberikan hasil pekerjaan terbaik dalam bekerja. Kamu boleh saja bekerja sesuai jadwal dan menghindari lembur. Namun pastikan bekerja maksimal dan efektif saat jam kerja.

Komunikasikan dengan atasan jika pekerjaanmu terlalu berat atau kamu membutuhkan tenaga bantuan. Dengan begitu, perusahaan tidak akan melihatmu sebagai pegawai yang malas atau berpotensi menimbulkan masalah.

Tetaplah jaga motivasi untuk dapat bersaing secara sehat dengan pegawai lain. Tunjukkan minat dan kompetensi dalam pekerjaan sehingga perusahaan tetap menghargai kinerjamu dan mempertimbangkan untuk peningkatan karir.

Sediakan waktu untuk belajar sehingga kamu memiliki nilai plus dan mendapat perhatian atas kelebihanmu dibandingkan pegawai lain.

Pekerjaan juga menjadi bagian dari aktualisasi diri. Jadi bekerjalah bukan hanya untuk mendapatkan penghasilan, namun juga sebagai sarana untuk bersosialisasi, berkembang, kepuasan diri, beribadah dan sebagai cara untuk dapat memberikan makna diri pada kehidupan.