Minyak goreng adalah bahan penting dalam kehidupan sehari-hari, digunakan untuk menggoreng berbagai makanan mulai dari tempe, ayam, hingga camilan favorit. Namun, belakangan ini muncul kekhawatiran mengenai hubungan antara minyak goreng dan risiko kanker, terutama jika minyak digunakan berulang kali atau dipanaskan pada suhu tinggi. Benarkah minyak goreng berkontribusi terhadap risiko kanker?
Saat minyak goreng dipanaskan berulang kali atau pada suhu sangat tinggi, terjadi proses kimia yang disebut oksidasi lipid dan pembentukan senyawa berbahaya seperti akrolein, akrilamida, dan heterosiklik amina (HCA). Senyawa ini bersifat karsinogenik, artinya dapat memicu perubahan pada sel yang meningkatkan risiko kanker.
Menurut World Cancer Research Fund (WCRF), "proses penggorengan pada suhu tinggi dapat menghasilkan senyawa karsinogen yang jika dikonsumsi berlebihan dalam jangka panjang, berpotensi meningkatkan risiko kanker pencernaan" (WCRF, 2018).
“Pemanasan berulang pada minyak menyebabkan akumulasi radikal bebas dan senyawa oksidasi yang berpotensi merusak DNA,” ungkap Dr. Mohd Nazrul, peneliti nutrisi dari Universitas Malaya (Nazrul et al., 2017).
Tidak semua minyak goreng memiliki risiko yang sama. Minyak dengan kandungan lemak jenuh tinggi seperti minyak kelapa sawit cenderung lebih stabil saat dipanaskan, tetapi minyak tak jenuh ganda (misalnya minyak jagung, minyak kedelai) lebih mudah teroksidasi pada suhu tinggi.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam Food Chemistry (Choe & Min, 2007) menyatakan bahwa “minyak yang digunakan berulang kali mengalami penurunan kualitas, menghasilkan peroksida, aldehida, dan polimer yang berbahaya jika dikonsumsi.”
Oleh karena itu, frekuensi pemakaian ulang dan suhu penggorengan menjadi faktor utama yang menentukan tingkat bahayanya minyak goreng terhadap kesehatan.
Penelitian dari National Cancer Institute (NCI) menunjukkan bahwa konsumsi rutin makanan yang digoreng dalam minyak yang dipanaskan berulang kali berkorelasi dengan peningkatan risiko kanker payudara, kanker usus besar, dan kanker pankreas (Zhang et al., 2012).
Dalam studi lain oleh Guallar-Hoyas et al. (2014), ditemukan bahwa asap hasil penggorengan juga mengandung poliaromatik hidrokarbon (PAH) yang merupakan karsinogen potensial. Orang yang sering terpapar asap penggorengan di dapur yang tidak memiliki ventilasi baik juga berisiko mengalami masalah pernapasan dan paparan karsinogen.
“Risiko kanker tidak hanya datang dari makanan yang dikonsumsi, tetapi juga dari paparan asap penggorengan, terutama di lingkungan dapur dengan ventilasi buruk,” jelas Dr. Guallar-Hoyas (2014).
Beberapa faktor lain yang memperkuat hubungan antara minyak goreng dan risiko kanker adalah:
✅ Penggunaan minyak bekas (reused oil) – semakin sering dipakai, semakin tinggi kandungan senyawa karsinogeniknya.
✅ Jenis minyak – minyak tak jenuh ganda lebih mudah rusak pada suhu tinggi.
✅ Cara memasak – menggoreng dengan suhu sangat tinggi memicu pembentukan senyawa berbahaya lebih banyak.
✅ Durasi penggorengan – semakin lama menggoreng, semakin banyak oksidasi yang terjadi.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko kesehatan dari minyak goreng antara lain:
✔️ Menghindari penggunaan minyak secara berulang kali.
✔️ Menggunakan minyak dengan titik asap tinggi seperti minyak kanola atau minyak zaitun untuk memasak.
✔️ Memasak dengan metode lain seperti memanggang, mengukus, atau merebus.
✔️ Menggunakan ventilasi dapur yang baik agar asap tidak terakumulasi.
✔️ Membuang minyak setelah tanda-tanda perubahan warna, bau, atau asap berlebihan.
Menurut European Food Safety Authority (EFSA), “mengganti metode memasak dari menggoreng menjadi memanggang atau merebus secara signifikan dapat mengurangi paparan senyawa karsinogen” (EFSA, 2015).
Minyak goreng adalah bagian tak terpisahkan dari pola makan masyarakat Indonesia. Namun, kebiasaan menggunakan minyak secara berulang kali atau menggoreng dengan suhu tinggi dapat meningkatkan risiko kesehatan, termasuk risiko kanker. Kesadaran akan cara penggunaan minyak yang aman, pemilihan jenis minyak, dan teknik memasak yang sehat adalah langkah penting untuk menjaga kesehatan jangka panjang.
Seperti yang disampaikan Dr. Nazrul, “bijak dalam penggunaan minyak goreng tidak hanya berdampak pada kesehatan individu, tetapi juga kualitas hidup keluarga secara keseluruhan” (Nazrul et al., 2017).
Choe, E., & Min, D. B. (2007). Chemistry of deep-fat frying oils. Food Science and Food Safety, 6(3), 165-186.
EFSA. (2015). Scientific Opinion on acrylamide in food. EFSA Journal, 13(6), 4104.
Guallar-Hoyas, C., et al. (2014). Exposure to cooking oil fumes and risk of lung cancer: A review. Occupational and Environmental Medicine, 71(12), 791-798.
Nazrul, M., et al. (2017). Repeated heating of cooking oils and cancer risk: A critical review. International Journal of Food Science, 2017, 1-7.
World Cancer Research Fund. (2018). Diet, Nutrition, Physical Activity and Cancer: A Global Perspective.
Zhang, Y., et al. (2012). Consumption of deep-fried foods and risk of breast cancer: A case-control study. Breast Cancer Research and Treatment, 132(1), 271-278.