Di tengah derasnya arus informasi dan tren yang silih berganti di media sosial, muncul satu istilah yang belakangan ramai diperbincangkan: "Stecu". Kata ini mendadak viral di berbagai platform seperti TikTok, Instagram, dan X (dulu Twitter), terutama setelah muncul dalam lagu yang sedang naik daun di kalangan generasi muda. Namun, apa sebenarnya arti dari "Stecu"? Bagaimana istilah ini bisa begitu populer dan menjadi bagian dari percakapan sehari-hari?
"Stecu" merupakan bentuk singkatan dari "setelan cuek", sebuah ekspresi yang menggambarkan sikap acuh tak acuh, tidak peduli, atau bersikap masa bodoh terhadap sesuatu atau seseorang. Istilah ini merepresentasikan gaya bersikap yang cenderung santai, tidak menunjukkan antusiasme, dan seolah tak terganggu oleh kondisi atau lingkungan sekitar.
Meskipun terlihat sederhana, penggunaan kata "Stecu" mencerminkan dinamika sosial yang menarik. Di kalangan anak muda, sikap cuek sering kali bukan hanya soal ketidaktertarikan, tetapi juga menjadi bentuk ekspresi diri atau strategi dalam hubungan sosial, seperti ketika ingin terlihat tidak terlalu berharap atau ingin menguji keseriusan seseorang.
Kepopuleran istilah "Stecu" tidak bisa dilepaskan dari lagu berjudul "Stecu Stecu" yang dinyanyikan oleh Faris Adam, musisi muda asal Maluku Utara. Lagu ini pertama kali diunggah di platform YouTube pada 5 Maret 2025, dan sejak saat itu telah mencatatkan lebih dari 8,8 juta penonton, serta digunakan di ribuan video TikTok sebagai latar belakang musik.
Lagu "Stecu Stecu" menggambarkan kisah percintaan anak muda, khususnya bagaimana seorang perempuan menggunakan "setelan cuek" sebagai bentuk pendekatan dalam hubungan. Dalam lagu tersebut, sikap cuek bukan berarti tidak tertarik, tetapi menjadi semacam ujian atau cara untuk melihat kesungguhan hati lawan jenisnya. Tema ini begitu relevan dengan perilaku remaja masa kini yang sering dibumbui rasa gengsi, keinginan menjaga harga diri, dan permainan tarik-ulur dalam hubungan asmara.
Dengan lirik yang mudah diingat, irama yang enerjik, serta penggunaan bahasa sehari-hari yang dekat dengan anak muda, lagu ini cepat menyebar dan menjadi tren di media sosial.
Istilah "cuek" sendiri bukanlah kata baru dalam khazanah bahasa Indonesia. Kata ini berasal dari bahasa prokem, yaitu bentuk bahasa gaul yang berkembang di kalangan remaja atau komunitas tertentu sebagai bentuk komunikasi yang unik dan terkadang bersifat kode. Bahasa prokem sudah dikenal sejak era 1980-an, dan terus berkembang mengikuti zaman.
Seiring waktu, kata "cuek" telah diadopsi secara luas dan bahkan masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dengan definisi sebagai sikap tidak peduli atau masa bodoh terhadap situasi atau orang lain. Penggunaan kata ini pun sangat fleksibel, bisa merujuk pada ekspresi emosi, gaya berpakaian, hingga strategi komunikasi sosial.
Melalui istilah "Stecu", terlihat bagaimana bahasa terus mengalami pembaruan, bertransformasi, dan menjadi bagian dari identitas budaya anak muda. Fenomena ini juga menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media sosial dan industri hiburan dalam membentuk tren bahasa dan gaya hidup.
Lebih dari sekadar kata gaul, fenomena "Stecu" mencerminkan kecenderungan generasi muda untuk menciptakan dan mengikuti tren sebagai bentuk aktualisasi diri. Dalam konteks sosial, sikap cuek juga bisa menjadi mekanisme pertahanan atau bentuk pernyataan diri di tengah kompleksitas hubungan antar manusia saat ini.
Namun, penting juga untuk memahami bahwa di balik sikap cuek bisa tersembunyi perasaan rentan, kebutuhan akan pengakuan, atau bahkan kecemasan sosial. Oleh karena itu, fenomena seperti "Stecu" bisa menjadi pintu masuk untuk memahami dinamika psikologis dan sosial yang lebih dalam di kalangan generasi muda masa kini.
Fenomena viral seperti "Stecu" menjadi contoh bagaimana budaya populer, musik, dan bahasa saling memengaruhi dalam kehidupan sosial. Dari sekadar lagu yang catchy, "Stecu" telah menjelma menjadi simbol ekspresi remaja, gaya komunikasi baru, bahkan identitas kelompok sosial di media digital. Mempelajari fenomena seperti ini penting agar kita bisa lebih memahami generasi muda serta perubahan sosial yang terjadi secara dinamis di era digital.