Stop generasi strawberry!
Last Update:

2025-05-08 21:00:38

Beberapa waktu lalu saya mengikuti webinar tentang Stop Gen Strawberry yang dibawakan oleh yayasan Eureka. Generasi strawberry merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan generasi muda yang dianggap mudah tertekan dan kurang mampu menghadapi tekanan atau tantangan, meskipun sebetulnya mereka memiliki potensi dan kreativitas.

Mengapa disebut strawberry, karena mereka seperti buah strawberry, cantik di luar tapi lembek di dalam. Pembentukan generasi ini tidak dipungkiri ada turut campur dari orang tua. Bagaimana orang tua mendidik anak, terutama pada jaman yang serba instant saat ini. Keberadaan gadget, status sebagai working mom, pola asuh dari orang tua dan pihak ketiga, turut membentuk karakter anak saat ini. 

Apa yang bisa dilakukan untuk membuat anak tidak menjadi generasi strawberry? Ada beberapa hal yang saya rangkum, yaitu :

1. Berikan tanggung jawab kepada anak. Misalnya ketika mereka sudah waktunya bertanggung jawab untuk membereskan mainan2nya. Maka, orang tua perlu tegas untuk hal tsb. Pemberian reward dan punishment pada tanggung jawab ini juga sebaiknya dihindari. Misalnya, ayo beresin mainannya dulu, abis itu kita beli es krim. Hal ini membuat anak berpikiran bahwa ketika dia sudah melakukan yang orang tua suruh, maka dia akan mendapatkan sesuatu. Ketika motivasi anak sudah berubah menjadi demikian, maka itu harus segera dihentikan. Latih anak untuk tau dan menyadari, bahwa membereskan mainan adalah memang tanggung jawabnya, bukan karena ada rewardnya. Ada perbedaan ketika kita baru memberikan reward di akhir, misalnya "wah good job ya, uda beresin mainannya, yuk kita beli es krim" > jadi anak tidak mengetahui ada reward sedari awal. Begitu pula dengan pemberikan punishment. Apabila kita sudah memberikan info apabila ada punishment, seperti "mama akan ambil mainannya ya!" maka orang tua harus melakukan hal tsb. Karena jika kita tidak melakukannya, maka anak akan berpikiran bahwa ah mama ga akan beneran buang  kok. Mungkin punishmentnya bisa diganti menjadi : mama akan simpan dulu untuk 5 malam, baru nanti bisa dimainkan kembali. Hal ini bisa dilakukan, namun tidak terlalu "kejam". 

2. Berikan ruang untuk pembelajaran anak. Misalnya, anak sedang belajar mengikat tali sepatu. Maka pilihlah waktu yang sesuai di saat anak sedang happy, misalnya ketika ingin bermain ke taman. Tidak apa2 apabila mau main ke taman, tapi pakai sepatu, jadi anak bisa belajar mengikat tali sepatu dg kondisi yang happy. Jangan memberikan ruang pembelajaran ketika kita sedang terburu2 atau kita sedang tidak tenang / dalam kondisi happy juga, karena jadinya akan muncul perasaan kesal > kok lama banget sih, kok ga bisa2 sih. Padahal anak butuh waktu juga untuk belajar.

3. Harus 1 kapal dengan pasangan. Bagaimanapun kondisinya, harus 1 kapal, 1 suara dengan pasangan. Yang saya pelajari selama ini, harus ada good guy dan bad guy. Tapi ternyata itu salah. Harus 1 ritme, 1 suara, dengan pasangan. Apabila saya bilang tidak, maka pasangan juga harus 1 suara. Apabila saya marah, maka pasangan tidak boleh ikut campur untuk membela. Mungkin bisa sekedar mengingatkan apabila kita sudah terlampau emosi, tapi bisa dengan bisik2. Jangan sampai di depan anak, orang tua terlihat tidak kompak, atau ya itu ada good guy dan bad guy. Tapi apa yang terjadi ketika anak lari ke kakek / neneknya? Lagi2 kita yang harus menjelaskan kepada orang tua kita, bahwa didikan ini memang harus 1 suara. Apabila memang masih tidak sejalan dengan kakek / neneknya, maka berdoalah untuk dilembutkan hatinya :))

4. Apabila memang harus menjadi working mom, maka coba buatlah list kegiatan apa saja yang bisa dilakukan oleh anak, sehingga hal ini meminimalisir penggunaan gadget yang bisa jadi salah satu jalan pintas kakek / nenek untuk menenangkan anak. Memang butuh effort, tapi dengan kita membuat list kegiatan, setidaknya kita tetap bisa mengarahkan anak.

5. Jangan jadikan anak sebagai pelampiasan ambisi. Terkadang saya pun berpikir bahwa anak itu adalah versi perbaikan dari saya. Ketika saya tidak mampu mendapatkan atau melakukan A ketika kecil, maka anak saya harus bisa. Namun ini pemikiran yang salah, dimana anak jadi pelampiasan dari ambisi orang tua. Bantu arahkan anak untuk melakukan apa yang dia mau, apa yang dia suka, tanpa memaksa. Ikuti dan fasilitasi apapun yang memang menjadi kesukaannya, sehingga dia pun bisa explore dan bertanggungjawab, tau konsekuensi dan tujuan dari apa yang dipilihnya.

6. Apabila anak sudah terlanjur terjun dalam dunia "gadget", terutama permainan, ikutlah terjun. Mainkan permainan yang edukatif dan bisa melibatkan kita orang tuanya, sehingga anak tidak tenggelam dalam dunia permainan game tsb sendiri. Namun ada kita sbg orang tua yang ikut melihat dan berperan dalam dunia anak.

Kunci dari pembentukan karakter anak adalah konsisten. Dimana hal ini tidak bisa hanya dilakukan 1-2x, tapi seterusnya, dan perlu peran kerjasama orang tua dalam menerapkan hal ini. Semangat!