INTRO
“Let’s Hustle!” Itulah seruan yang sering kita dengar dari para motivator — seolah hidup hanya tentang kerja, kerja, dan kerja. Sebuah ajakan untuk terus berlari, mengejar uang tanpa henti.
Kecanduan kerja.
Bukan sesuatu yang datang tiba-tiba, tapi perlahan… merayap masuk ke dalam setiap sudut hidup kita, mengambil alih tanpa kita sadari. Kita mengenalnya sebagai satu kata yang menakutkan yaitu..
WORKAHOLIC.
KECANDUAN KERJA?
Validasi, apresiasi, pujian, pencapaian, penghargaan, promosi jabatan, kenaikan penghasilan. Semua itu menjadi awal mula seseorang menjadi kecanduan kerja.
Setiap pencapaian yang kita raih, menjadi sumber dopamin bagi tubuh yang membuat kita ingin lebih dan lebih lagi.
Kita seolah terjebak dalam sebuah permainan, berlomba-lomba membuka level baru secepat mungkin. Rasa penasaran terus mendorong kita bertanya:
“Apa lagi yang bisa aku capai di level berikutnya?”
Dan bosmu… tentu saja, dia tersenyum puas. Karena dialah yang paling diuntungkan dari setiap tetes keringatmu. Segala motivasi, janji-janji manis, dan iming-iming kesuksesan diberikan untuk membuatmu bekerja lebih keras.
Tapi, dalam perlombaan ini, ada yang terkorbankan… waktumu, kesehatanmu, keluargamu, sahabatmu — bahkan mungkin, nilai-nilai moral yang dulu begitu penting bagimu.
Tren Hustle Culture saat ini telah membuat banyak orang yang awalnya santai mulai bertanya-tanya: “Apa lagi yang bisa aku lakukan untuk mempercepat karirku?”
Sedang mereka yang sudah sangat sibuk, semakin terpacu dan serasa mendapat bahan bakar tambahan atas kinerjanya yang melebihi orang lain pada umumnya.
Well…nggak salah kalau para hustlers ini bangga. Apalagi dengan kerja lebih keras, kalian pastinya mendapat penghasilan memuaskan.
“Walaupun itu belum tentu”
Kerja Keras ≠ Penghasilan Memuaskan
Perlahan, tanpa sadar kalian masuk ke dalam sebuah candu akan kerja. Dan semakin terpacu untuk bekerja lebih keras lagi. Agar dapat memiliki penghasilan lebih besar lagi.
“If what you have seems insufficient to you, then though you possess the world, you will yet be miserable.”
“Jika apa yang kamu miliki terasa kurang bagimu, maka meskipun kamu memiliki dunia, Kamu akan tetap sengsara.”
— Seneca
KERJA KERAS VS KERJA CERDAS
Sebuah petuah mengingatkan supaya kita “Kerja Cerdas bukan Kerja Keras”. Namun ketika larut dalam pekerjaan, kita menjadi lupa bagaimana caranya bekerja cerdas.
Kita hanya mengikuti arahan pimpinan, mengikuti trend yang berkembang, mengikuti orang lain, hingga kadang kehilangan jati diri.
Kita banyak melakukan kegiatan yang bahkan tidak ada dampaknya bagi kemajuan kita sendiri, organisasi atau perusahaan. Melakukan hal yang tidak perlu, hingga tidak efektif dalam memanfaatkan waktu.
Akhirnya, hal-hal penting terabaikan atau tidak mendapat penanganan maksimal.
Misalnya saat kita tahu, bahwa memposting konten di media sosial setiap hari, hanya untuk mengejar kuantitas, tidak banyak menghasilkan dampak pada engagement akun. Namun kita terus melakukannya.
Padahal, jika kita mengambil sedikit waktu untuk berpikir lebih cerdas — melakukan riset konten yang mendalam, memaksimalkan iklan pada konten terbaik, dan benar-benar mengelola interaksi dengan follower — hasilnya akan jauh lebih baik. Engagement yang sesungguhnya, bukan sekadar angka kosong.
SLOW PRODUCTIVITY
Slow productivity, adalah sebuah seni dalam bekerja dengan mode yang lebih lambat. Slow Productivity juga berarti bahwa kita akan menyelesaikan lebih sedikit pekerjaan, namun fokus untuk memaksimalkan kualitas.
Karena produktivitas bukan sekedar tentang berapa banyak hal yang kita kerjakan. Tetapi juga tentang kualitas hasil dan dampak manfaat yang bisa kita berikan.
Kamu mungkin pernah merasakan memesan souvenir atau produk dari pengrajin.
Pengrajin A menawarkan kerajinan dengan harga 300 ribu rupiah dengan proses pengerjaan 3 hari. Sedangkan Pengrajin B menawarkan produknya senilai 1 juta rupiah dengan waktu pengerjaan 6 hari.
Namun kamu melihat, bahwa pengrajin B memiliki detail yang lebih baik, lebih rapi, lebih kokoh, desainnya pun lebih orisinil dan tidak pasaran.
Bila dilihat dari harganya yang lebih murah, pengrajin A memiliki potensi lebih besar untuk mendapat lebih banyak pelanggan.
Namun nyatanya bahkan dalam waktu 6 hari pengerjaan, Pengrajin B mendapat penghasilan yang lebih besar daripada pengrajin A. Dia pun tak butuh pelanggan sebanyak pengrajin A untuk menargetkan omset yang sama. Namun bisa menghasilkan uang lebih banyak dibanding pengrajin A.
Pengrajin B Menerapkan slow productivity, dengan fokus pada kualitas terbaik dan orisinalitas. Maka, dia pun memiliki waktu lebih untuk mengembangkan ide, mencari inspirasi, mengerjakan dengan lebih santai dan memiliki waktu istirahat yang sehat. Beban pekerjaannya pun lebih sedikit, sehingga terhindar dari risiko kelelahan, stres dan kesehatan mentalnya pun terjaga.
Hal yang terpenting adalah di mana kamu akan berakhir, bukan kecepatanmu mencapainya, atau jumlah orang yang kau buat terkesan dengan kesibukanmu di sepanjang jalan.-— Cal Newport
WORK LIFE BALANCE
Kita semua pasti mendambakan kehidupan yang seimbang. Dimana kita tetap memiliki waktu berkualitas untuk diri sendiri, dengan pasangan, keluarga atau sahabat.
Namun disisi lain kita merasa ketakutan. Apakah kita dapat membayar semua tagihan? Apakah kita bisa menabung untuk masa depan? Atau akankan kita tertinggal?
Apalagi melihat pencapaian-pencapaian orang lain di media sosial. Yang mana kita tak pernah tahu, privilege apa saja yang dia miliki.
Menjadi workaholics tentu mustahil untuk menerapkan work life balance.
Padahal seharusnya kita membagi waktu kita menjadi 3 bagian. Yaitu 8 jam untuk bekerja, 8 jam untuk beristirahat dan 8 jam untuk aktivitas pribadi lainnya.
FOKUS PADA HAL TERPENTING
Who you are, what you think, feel, and do, what you love, is the sum of what you focus on.
Siapa dirimu, apa yang kamu pikirkan, rasakan, dan lakukan, apa yang kamu sukai adalah ringkasan dari apa yang kamu fokuskan- Cal Newport
Waktu kita sangatlah berharga. Saat kita dapat menghargai setiap detik yang kita miliki untuk hal paling penting, maka kita akan menjadi orang yang efektif.
Semakin penting sesuatu, maka semakin layak hal itu mendapat perhatian dan waktu kita. Artinya, jangan pernah terburu-buru saat mengerjakannya. Berikan waktu yang cukup untuk kamu memikirkan ide, eksekusi, evaluasi dan revisi.
Jangan terburu-buru mendapat hasil instan.
Kamu bisa menetapkan deadline yang wajar dan sehat untuk kamu dapat mengeksekusi pekerjaan itu dengan maksimal. Perlakukan pekerjaanmu sebagai bentuk karya yang ingin kamu tampilkan dan ingin kamu capai. Bukan sekedar sebagai tugas yang harus segera kamu selesaikan.
HINDARI BURNOUT
Sesungguhnya manusia bukan kecanduan kerja. Mereka kecanduan pada apa yang mereka hasilkan saat bekerja keras.
Namun seringkali ketika tubuh memberikan sinyal-sinyal untuk kita segera beristirahat, kita merasa takut akan ketinggalan.
Banyak orang bekerja lembur secara terus menerus. Bahkan rela mengambil waktu tidurnya untuk bekerja. Saat akhir pekan, yang seharusnya digunakan untuk istirahat, merefresh otak dan membina hubungan sosial, juga masih digunakan untuk mengejar rupiah.
Kita pikir, dengan cara ini, kita akan semakin cepat kaya. Padahal semua itu hanya akan menguras energi kita, merusak kesehatan dan justru dapat menurunkan kinerja.
Dampaknya, seseorang dapat mengalami kelelahan, stres dan burnout. Burnout dapat membuat seseorang kehilangan motivasi kerja, menurunkan produktivitas dan kualitas diri. Bahkan berdampak buruk pada kondisi kesehatan dan kehidupan pribadi.
Banyak orang mengalami burnout justru berakhir dengan mengundurkan diri. Karena sudah sangat penat dengan pekerjaan yang dihadapinya.
Ali Abdaal dalam bukunya Feel Good Productivity menyebutkan bahwa ada 3 hal yang dapat meningkatkan energi dan produktivitas kita. Yaitu Play, Power and People.
Play
berarti bahwa kita perlu bersenang-senang dan berhenti terlalu serius bekerja. Bermain atau melakukan hal yang kita sukai, akan menjadi sumber energi utama. Hidup ini sudah penuh tekanan. Bila kita dapat memadukan semangat bermain ke dalam hidup kita, maka kita akan merasa lebih baik dan dapat melakukan lebih banyak hal secara berkualitas.
Power
bermakna bahwa kita perlu meningkatkan kesehatan dan kebugaran tubuh, untuk membangun rasa percaya diri dalam kehidupan pribadi dan pekerjaan. Sedangkan,
People
berarti bahwa sangat penting untuk membangun circle yang berkualitas dan membangun hubungan dengan orang lain untuk menjaga motivasi kita.
Positive emotions are the fuel that drives the engine of human flourishing.
Emosi positif adalah bahan bakar yang menggerakkan mesin kemajuan manusia. — Ali Abdaal.
Untuk menghindari burnout, Ali Abdaal mengungkap 3 hal penting yang harus dihindari. Yaitu Overexertion atau bekerja secara berlebihan; Depletion atau kurangnya istirahat; dan Misalignment yang berarti kesenjangan antara hal pribadi dan pekerjaan.
OUTRO
Menjadi workaholic adalah seperti terjebak dalam siklus yang memabukkan terus-menerus mengejar kepuasan semu dari pencapaian kerja. Tapi semakin cepat kamu menyadari apa yang benar-benar penting dalam hidupmu, semakin cepat kamu bisa keluar dari lingkaran kerja yang berlebihan ini.
Ingatlah, saat kamu kehilangan orang-orang yang kamu cintai, atau kesehatanmu mulai terganggu, seberapa banyak pun uang yang kamu kumpulkan… semuanya akan terasa tidak berarti.
Jangan biarkan pencapaian materi mengaburkan pandanganmu. Hidup ini bukan hanya tentang bekerja tapi tentang siapa yang ada di sisi kita dan bagaimana kita menjaga diri untuk terus melangkah.