Design Thinking: Pengertian, Tahapan, dan Contoh Penerapannya (part 2)
Teacher

ANDREAS TANJAYA

Last Update:

2024-01-29 18:23:08

Proses dalam Design Thinking

Design thinking bukanlah istilah baru. Gagasan menggunakan pendekatan desain untuk pemecahan masalah secara kreatif sudah lama diperbincangkan para ahli sejak tahun 1960-an. Para ahli saling menyumbang pemikirannya, sehingga terbentuklah konsep design thinking.

Ialah John E. Arnold yang pertama kali mengemukakan istilah design thinking dalam bukunya “Creative Engineering” pada 1959. Kemudian, pada 1965, L. Bruce Archer menimpali gagasan tersebut dengan mengemukakan bahwa design thinking perlu dilakukan secara sistematis

Herbert Simon, seorang sosiolog sekaligus psikolog Amerika menyumbang pemikirannya melalui artikelnya berjudul The Sciences of The Artificial yang terbit pada 1969. Simon memperkenalkan 7 langkah menggunakan desain sebagai pendekatan kreatif untuk problem-solving.

Intisari konsep Simon itulah yang kemudian mengilhami 5 tahapan design thinking yang dikenal umum saat ini. Konsep tersebut semakin tenar setelah diterapkan David Kelley dan Tim Brown untuk perusahaan desain yang mereka dirikan, IDEO. Mereka melihat perusahaan kurang kreatif menangani kasus-kasus ekstrem yang menimpanya.

Kelima tahapan ini tidak harus berurutan, tetapi juga dapat dilaksanakan secara non-linear. Artinya, dalam tahapan tertentu, kamu mungkin saja menemukan sebuah insight yang membuatmu harus memperbaiki hasil di tahapan lainnya.

Selain itu, kelima tahapan ini juga bisa dipindah/diganti urutannya, atau dilakukan secara bersamaan, dan diulang beberapa kali untuk membuka kesempatan solusi-solusi terbaik.

Tahapan Design Thinking

1. Empathize

Empathize dalam design thinking adalah tahap paling awal yang krusial. Meski kelima tahapan ini dapat dilakukan secara parallel, tetapi kebanyakan project memulai dengan tahapan ini. Dalam tahap ini, kamu harus menaruh empati untuk mengenal pengguna dan memahami keinginan, kebutuhan, dan tujuan mereka. Tahap ini juga mengharuskan observer untuk meninggalkan sejenak asumsinya terhadap pengguna dan mulai memahami mindset pengguna.

Untuk melepaskan diri dari asumsi, kamu bisa menanyakan apa yang dilakukan pengguna (what), bagaimana dia melakukannya (how), dan mengapa ia melakukannya (why). Ketiga pertanyaan tersebut akan membantumu melakukan observasi yang objektif.

Agar dapat memahami pengguna dari sisi psikologis hingga emosional, kamu bisa berinteraksi langsung dengan pengguna. Namun, saat ini, sudah banyak cara yang bisa digunakan untuk memahami pengguna. Misalnya seperti menganalisis feedback produk dan mengidentifikasi perilaku pengguna di media sosial.

2. Define

Setelah mengumpulkan data yang berkaitan dengan pengguna, tugasmu selanjutnya adalah menganalisis data tersebut. Selanjutnya, identifikasi masalah atau hambatan yang dialami pengguna. Tahapan define dalam design thinking sendiri dilakukan untuk menyebutkan problem statement.

Dalam menamakan masalah, pastikan kamu menggunakan sudut pandang pengguna, bukan menekankan aksi yang harus dilakukan perusahaan. Misalnya, kamu menemukan bahwa terdapat kebutuhan cairan pelindung tangan untuk melindungi diri dari virus Covid-19.

Dari situ, nyatakan masalah dengan “Masyarakat Indonesia membutuhkan…” daripada “Perusahaan kita harus membuat…” Ini akan membantu membedakan dengan jelas problem statement dan tidak membuat bingung perusahaan terkait penyebutan masalah dengan solusi.

3. Ideate

Bermodal pengetahuan keluhan pengguna dan problem statement yang jelas, sekarang waktunya kamu menyusun ide-ide kreatif sebagai solusi masalah. Di sinilah, proses kreatif dimulai. Nielsen Norman Group mendefinisikan ideate sebagai proses menghasilkan serangkaian gagasan berdasarkan topik tertentu, tanpa ada upaya untuk menilai atau mengevaluasinya. Makanya, di sini, kamu bebas mengeksplorasi ide apa pun.

Namun, merumuskan ide-ide kreatif tidaklah mudah. Beberapa ide akan dianggap menarik dan lainnya bisa jadi hanya akan berakhir di tempat sampah. Oleh karena itu, di tahapan ini kamu dituntut untuk berpikir out-of-the-box. Kalau kamu kesulitan melahirkan ide-ide cemerlang, kamu bisa mengikuti beberapa metode ideation yang sering digunakan, seperti brainstorming, mindmapping, hingga bodystorming (roleplay).

4. Prototype

Setelah memilih ide paling jenius, kamu harus membuat visualisasi dari idemu tersebut. Tahapan ini memang membutuhkan eksperimen untuk mengubah ide menjadi sesuatu yang tampak. Prototype sendiri merupakan produk belum jadi, simulasi, sample yang dapat mengevaluasi ide dan desain yang sudah kamu rancang, misalnya seperti versi beta dalam pembuatan website. Tahapan ini penting untuk menguji coba apakah produk yang digarap sejauh ini sudah sesuai dengan apa yang direncanakan.

Di tahap ini, solusi yang ditawarkan bisa jadi diterima, diperbaiki, dirancang ulang, bahkan ditolak.maka dari itu, fungsi tahapan ini memang untuk mempertanyakan ulang apakah produk yang ada sudah dapat menjawab permasalahan pengguna.

5. Test

Sesuai namanya, di tahap ini, kamu harus menguji prototype kepada pengguna. Terkadang, testing bersifat opsional. Namun, menguji akan memberikan keuntungan tersendiri, yaitu product review. Dari situ, kamu bisa memaksimalkan kembali produk tersebut dari feedback dari pengguna.

Meski tahap ini berada di akhir, bukan berarti proses design thinking telah selesai. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, design thinking adalah metode non-linear. Proses testing bisa jadi memunculkan kekurangan atau celah dari proses design thinking lainnya.

Kalau begitu, kamu harus memperbaiki hasil dari proses yang rumpang. Misalnya, setelah dilakukan testing ternyata pengguna tidak terlalu membutuhkannya. Bisa jadi, problem statement yang kamu rumuskan kurang tepat. Maka, kamu harus mengulang kembali identifikasi masalah di tahapan define, lalu menentukan kembali ide-ide sebagai solusi masalah.

Contoh Penerapan Design Thinking: Studi Kasus Gojek

Kali ini, kamu akan mengetahui kesuksesan Gojek dalam menemukan masalah dan memberikan solusi menggunakan design thinking. Founder Gojek, Nadiem Makarim resah saat banyak orang tak percaya ojek bisa menjadi pekerjaan profesional.

Keraguan tersebut dijawabnya melalui penemuan inovatif berupa aplikasi penghubung mitra ojek online dan penumpang dengan Gojek. Per 2020, Gojek telah mengumpulkan 38 juta pengguna aktif bulanan, menyabet gelar unicorn pada Mei 2017, dan menjadi decacorn dua tahun setelahnya.

Berikut tahapan penemuan Gojek menggunakan design thinking.

1. Empathize

Nadiem mengatakan bahwa sektor ojek sangat bernilai. Ini berawal dari pengalaman pribadinya yang lebih memilih naik ojek dibanding membawa mobil sendiri untuk menghindari kemacetan Jakarta. Nadiem mendapati bahwa masyarakat juga merasakan keresahan yang sama dan membutuhkan tranportasi alternatif.

Di sisi lain, karena sering naik ojek, Nadiem dapat memahami seluk beluk perjuangan seorang ojek yang bekerja selama 14 jam sehari dan tidak bertemu anak istri, tetapi hanya dapat 4 penumpang. Nadiem merasa prihatin dengan nasib tukang ojek.

2. Define

Nadiem berusaha menjawab permasalahan yang ada dengan menekankan bahwa konsumen menghadapi masalah kemacetan setiap hari. Di sisi lain, terdapat ketidakpastian penghasilan dari tukang ojek, bahkan setelah bekerja berjam-jam dalam sehari.

Selain itu, Nadiem juga melihat, pada saat banyak ojek tersedia, tidak banyak penumpang yang membutuhkan jasanya. Namun, saat penumpang butuh, sang ojek tidak berada di tempat. Kata Nadiem, ini menyebabkan inefisiensi pasar. Oleh karena itu, Nadiem merasa harus membuat terobosan baru untuk mengakomodasi hal tersebut.

Potential problem statement: “Masyarakat butuh transportasi alternatif untuk menghindari kemacetan Jakarta dan tukang ojek butuh kepastian penghasilan (penumpang)”.

3. Ideate

Bermodal keresahan masyarakat atas kemacetan Jakarta, nasib tukang ojek, dan perumusan problem statement di atas, Nadiem merumuskan beberapa solusi. Salah satunya dan yang akan menjadi dasar pembuatan produknya saat ini, adalah dengan menciptakan sebuah penghubung antara kebutuhan penumpang dan tukang ojek.

4. Prototype

Pada 2010, Nadiem membuat sebuah call center untuk ojek konvensional yang berjumlah 20 orang pengemudi. Setelah mendapat respons positif dari masyarakat, barulah Gojek mengembangkan aplikasinya.

5. Test

Pada 2015, Gojek merilis aplikasi Go-Ride untuk melihat respons masyarakat. Tak lama, pengemudi berbondong-bondong mendaftar, dari yang mulanya 20 orang menjadi 800 orang pada 2015. Gojek telah sukses menjadi penghubung mitra ojek online dengan customer yang membutuhkan transportasi alternatif untuk menghindari kemacetan Jakarta. Selain layanan utama tersebut, Gojek juga semakin mengembangkan bisnisnya pada layanan antar makanan, barang, pembelian barang, jasa kebersihan, dan lain-lain.