Toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif serta menolak emosi negatif. Melihat suatu hal dengan positif memang baik, tapi jika dibarengi dengan menghindari emosi negatif, hal ini justru dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental.
Seseorang yang terjebak dalam toxic positivity akan terus berusaha menghindari emosi negatif, seperti sedih, marah, atau kecewa, dari suatu hal yang terjadi. Padahal, emosi negatif juga penting untuk dirasakan dan diekspresikan.
Penyangkalan emosi negatif yang terus dilakukan dalam jangka panjang bisa menimbulkan berbagai masalah kesehatan mental, seperti stres berat, cemas atau sedih yang berkepanjangan, gangguan tidur, penyalahgunaan obat terlarang, depresi, dan PTSD.
Toxic positivity umumnya muncul melalui ucapan. Orang yang memiliki pemikiran yang demikian mungkin bisa sering melontarkan petuah yang terkesan positif, tapi sebenarnya merasakan emosi yang negatif.
Selain itu, ada beberapa hal yang menandakan seseorang sedang terjebak di dalam toxic positivity, antara lain:
Mungkin, mengucapkan kalimat positif dimaksudkan untuk menguatkan diri sendiri atau sebagai rasa simpati terhadap masalah yang sedang dialami orang lain. Namun, bukan berarti boleh terlalu positif hingga mengabaikan emosi negatif. Apa pun yang berlebihan itu tidak baik, begitu pula dengan sikap dan pikiran positif.
Selain dari ucapan, media sosial juga dapat memicu toxic positivity. Secara tidak sadar, media sosial membuat tiap orang berlomba-lomba untuk menunjukkan sisi terbaik dari kehidupan masing-masing. Ketika melihat orang lain yang hidupnya tampak lebih sempurna, mungkin kita akan menjadi lebih mudah sedih dan terpuruk.
Bahkan, ketika sedang merasa sangat sedih sekali pun, sebisa mungkin untuk menutupinya dari media sosial. Hal ini membuat kita menolak segala emosi negatif karena ingin selalu terlihat sempurna, seperti dunia yang ditampakkan di media sosial.
Cara Menghindari Toxic Positivity
Agar terhindar dari toxic positivity dan dampak buruknya, serta tidak menjadi sumber toxic positivity bagi orang lain, kamu bisa mencoba beberapa tips berikut:
Untuk itu, kamu boleh meluapkan atau mengungkapkan perasaanmu agar tidak menjadi toxic positivity. Cobalah bercerita dan ungkapkan keluh kesahmu pada seseorang yang kamu percaya dan bisa memahami perasaanmu. Bila kamu merasa tidak nyaman, kamu bisa menuliskannya dalam buku harian.
Oleh karena itu, cobalah untuk memahami perasaan tersebut dan temukan cara yang tepat untuk melepaskannya.
Jika hal ini terjadi pada temanmu, biarkan ia meluapkan emosi yang sedang dirasakan. Setiap orang tentu tidak mau dihakimi, apalagi hanya semata-mata karena ia jujur dengan perasaannya sendiri. Karena itu, daripada memberi komentar yang terkesan judgemental, cobalah untuk berempati.
Maka dari itu, tidak adil rasanya jika kamu membandingkan masalah yang kamu alami dengan masalah orang lain. Alih-alih membandingkan diri sendiri dengan orang lain, lebih baik berusaha memahami dan menghibur diri agar kondisi dan perasaanmu kembali pulih.
4. Mengurangi penggunaan media sosial
Karena media sosial dapat memicu atau memperparah toxic positivity, alangkah baiknya kamu coba kurangi penggunaannya. Kelola juga akun sosial mediamu, singkirkan orang-orang yang selalu membuat postingan kurang bermanfaat atau dapat memprovokasi emosimu.
Daripada menghabiskan waktu untuk scrolling media sosial, lebih baik buatlah dirimu produktif dengan cara menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang tertunda, mengasah kemampuan, melakukan me time, atau aktivitas lain yang membuat kamu merasa bahagia.
Setelah mengetahui ciri-ciri dari toxic positivity, kini kamu tidak boleh melakukan hal tersebut lagi, ya. Terapkan juga cara menghindari toxic positivity yang telah dipaparkan di atas, agar kamu terhindar dari sikap ini dan tidak menjadi sumber toxic positivity bagi orang lain.
Ingatlah bahwa tidak apa-apa untuk merasa tidak baik-baik saja. Tidak perlu meyangkal kesedihan dan berpura-pura selalu bahagia. Kehidupan yang dijalani setiap orang memiliki warna warninya tersendiri. Ada kalahnya kita bisa merasa bahagia dan puas, ada kalanya juga kita bisa merasa sedih dan kecewa.
Jika kamu terjebak dalam toxic positivity hingga merasa kualitas hidupmu sampai terganggu, janganlah ragu untuk berkonsultasi dengan psikolog, ya.