TRI HITA KARANA
Robertus Guntur.
Tri Hita Karana adalah sebuah konsep filosofis dalam kepercayaan Bali yang mengajarkan tentang keseimbangan hidup antara tiga elemen penting. Yaitu dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam.
Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sanskerta yang mengandung makna tiga penyebab kebahagiaan, yaitu:
Parhayangan, atau hubungan harmonis dengan Tuhan, Sang Pencipta Alam Semesta beserta isinya.
Pawongan, yaitu hubungan dengan sesama manusia. Baik dengan keluarga, teman, sosial masyarakat, maupun hubungan dalam pekerjaan.
Dan Palemahan, yaitu hubungan dengan alam lingkungan, mencakup hubungan dengan tumbuh-tumbuhan, binatang, alam dan seluruh isinya.
Ketiga elemen tersebut saling terkait dan harus dijaga keseimbangannya agar tercipta kehidupan yang harmonis dan sejahtera.
Tri Hita Karana menjadi konsep dasar yang membentuk karakter dan sikap masyarakat Bali pada umumnya.
BHAKTI
Bhakti adalah nilai yang mengajarkan tentang penghormatan dan pengabdian kepada Tuhan. Masyarakat Bali terkenal dengan pengamalan spiritualnya yang tinggi. Umumnya mereka beragama Hindu Dharma yang masih kental bercampur dengan adat dan budaya.
Wujud bhakti juga mereka lakukan dengan mengungkapkan rasa syukur. Mereka akan menyiapkan sesaji dan meletakkannya di berbagai tempat, seperti sudut rumah, di jalanan, pohon-pohon dan tempat lainnya. Mereka melakukannya sebagai bentuk syukur, atas nikmat yang Tuhan berikan. Juga sebagai ucapan terimakasih kepada alam yang telah memberikan kehidupan, keteduhan, tempat tinggal dan sebagai cara menghormati alam.
Menjaga hubungan dengan Tuhan, juga menjadi sebuah kendali atas sikap dan perbuatan. Apalagi dalam kepercayaan mereka, mereka juga mempercayai karma. Yaitu bahwa setiap perbuatan yang dilakukan akan memiliki konsekuensi. Maka dari itu, masyarakat Bali selalu berusaha untuk melakukan perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk agar mendapatkan karma yang baik.
Setahun sekali mereka melaksanakan Nyepi. Sebuah ibadah peringatan tahun baru Saka yang mereka lakukan dengan menenangkan diri. Mereka akan melakukan catur brata penyepian atau menghindari 4 pantangan. Amati geni yaitu tidak menghidupkan api, amati karya yaitu tidak bekerja, amati lelungan yaitu tidak bepergian, dan amati lelanguan yaitu tidak makan dan minum.
Cara ini dipercaya dapat mensucikan diri, sebagai bentuk melatih hawa nafsu, melatih diri akan penderitaan, cara meditasi dan mendekatkan diri pada Tuhan.
Sebuah cara untuk sejenak beristirahat dari segala aktivitas duniawi dan kembali ke titik nol.
Maka jika kamu sudah mulai lelah, kehilangan arah, atau kehilangan kendali atas dirimu, jangan lupa kembali ke titik nol. Bebaskan dirimu sejenak dari kepenatan dunia. Menyendiri. Untuk merefleksi kembali apa yang sudah kamu lalui.
KEBAIKAN SELALU MENANG
Masyarakat Bali juga memiliki Perayaan Galungan yang dirayakan setiap enam bulan sekali. Kata “galung” yang berarti “tumbuh” atau “bersemi”.
Perayaan ini memiliki makna yang sangat penting bagi masyarakat Bali, yaitu sebagai perayaan kemenangan dharma atau kebenaran melawan adharma atau kejahatan.
Perayaan Galungan menjadi sebuah pengingat bahwa dalam kehidupan ini selalu ada sisi baik dan sisi jahat. Namun bagaimanapun juga, kebaikan akan selalu menang.
Maka hendaknya dalam hidup kita selalu menjalankan hal yang baik dan benar. Hal ini dapat menolak bala atau hal buruk di kemudian hari.
“Bagi seseorang yang telah menaklukkan pikirannya, pikiran adalah sahabat terbaik, tetapi bagi seseorang yang gagal melakukannya, pikiran adalah musuh terbesar.” — Bhagavad Gita
GOTONG ROYONG
Konsep Tri Hita Karana juga mengajarkan tentang pentingnya menjaga hubungan antar manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Bali selalu mengutamakan sikap saling menghormati dan bekerja sama atau gotong royong dalam kegiatan sosial seperti upacara adat dan kegiatan kemasyarakatan lainnya.
Mereka percaya bahwa dengan saling membantu dan bekerja sama, segala hal akan menjadi lebih mudah dan berhasil.
Sifat ini sesungguhnya merupakan sifat dasar yang ada di masyarakat Indonesia, namun di berbagai daerah, kebiasaan ini mulai ditinggalkan.
Sehingga tak heran jika mereka memiliki sifat sosial yang tinggi dan terkenal sebagai masyarakat yang ramah dan santun.
Sagilik Saguluk, Salunglung Sabayantaka, Paras Paros Sarpanaya, Saling Asah Asih Asuh
Bersatu padu, menghargai pendapat orang lain, memutuskan segala sesuatu dengan cara musyawarah dan mufakat, saling mengingatkan, menyayangi dan membantu.
Cara masyarakat Bali dalam memperlakukan orang, tentu membuat siapapun yang datang merasa nyaman dan ingin kembali ke Bali.
Ini menjadi pengingat bagi kita tentang bagaimana cara memperlakukan orang lain, untuk membina hubungan jangka panjang. Baik dalam hubungan keluarga, dengan pasangan, masyarakat, maupun dalam pekerjaan.
KESEDERHANAAN
Kesederhanaan juga menjadi nilai yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali. Kesederhanaan mengajarkan tentang pentingnya hidup apa adanya dan tidak sombong. Dalam sehari-hari, kesederhanaan tercermin dalam tata cara hidup yang tidak berlebihan. Baik dalam berpakaian, dalam membangun rumah hingga dalam gaya hidupnya.
Kesederhanaan juga sebagai wujud mereka menjaga keharmonisan dengan alam. Wajar jika di Bali bahkan tidak ada gedung pencakar langit. Tidak ada gedung tinggi di sana, yang melebihi tinggi pohon kelapa. Pohon yang banyak mereka gunakan dalam upacara adat.
Ini mengingatkan kita untuk selalu rendah hati dan tidak tamak. Tahu kapan harus merasa cukup dan menyisakan ruang untuk makhluk lain.
“Ada tiga gerbang menuju penghancuran diri dan neraka: yaitu nafsu, Kemarahan dan Keserakahan.” — Bhagavad Gita
MENJAGA ADAT, SENI DAN BUDAYA
Menjaga adat dan budaya bagi masyarakat Bali adalah wujud penghormatan mereka kepada nenek moyang dan para leluhur.
Masyarakat Bali hingga kini masih sangat menjaga kesenian mereka. Sedari kecil mereka terbiasa menari, melestarikan budaya dan turut serta dalam berbagai upacara adat.
Mereka juga melakukannya untuk sarana mengungkapkan ekspresi, emosi dan perasaan dalam cara yang positif, tak merusak diri, apalagi merusak alam.
MENJAGA KEBERSIHAN DAN KESUCIAN
Masyarakat Bali juga sangat menjaga kebersihan lingkungan dan kebersihan diri sendiri. Kebersihan bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bentuk menjaga hubungan dengan Tuhan, dengan manusia lain dan juga pada alam.
Tak heran bila salah satu Desa di Bali yaitu Desa Penglipuran berhasil dinobatkan menjadi Desa terbersih di Dunia.
Hebatnya, meskipun menjadi kawasan wisata yang sangat ramai dikunjungi wisatawan, desa Penglipuran tetap bisa menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungannya.
Namun, kebersihan dan kesucian bukan hanya tentang fisik atau raga, tetapi juga kebersihan jiwa. Atau bahkan secara spiritual.
Tradisi Melukat misalnya, sebuah upacara pembersihan pikiran dan jiwa secara spiritual dalam diri manusia yang dilakukan dengan mandi di Pura, tempat pemandian, atau di laut.
Prosesi melukat dilakukan dengan harapan dapat membersihkan segala hal yang bersifat buruk, kotor atau negatif. Baik secara jasmani maupun rohani.
OUTRO
Bali menjadi gambaran bahwa dengan keramahannya, keterbukaannya pada pendatang, tidak menjadikan masyarakat Bali harus berubah. Dengan memiliki nilai-nilai hidup yang terus kita jaga, kita dapat memiliki pertahanan kuat tanpa harus dengan menutup diri atau bahkan menyerang.
Dengan memiliki spiritual yang tinggi kita dapat senantiasa hidup tenang. Tetap dihormati meskipun dalam kesederhanaan. Hidup berdampingan tanpa saling menyakiti.
Dan dengan menjaga keselarasan dengan alam, alam dapat terus memberikan penghidupan yang nyaman bagi kita.